Biarkan Sajo

   Akhir-akhir ini ketidaknyamanan menjamah. Saya berpikir dari beberapa faktor, dan “lingkungan” langsung muncul sebagai kandidat pertama.
    Saya akui, itu penyebabnya. Seperti pola yang dari dulu selalu ada. Mulai SD sampai sekarang–‘penkotak-kotakan’ itu menggelikan. Terlihat wajar, saya pun mengalaminya, tapi bukan berarti kotak tersebut tak bisa dibuka laksana pagar yang membiarkan tuannya keluar ‘kan? Si penghuni juga perlu udara baru, pemandangan segar, dan melihat dunia bukan sekadar kotak kecil miliknya. Banyak hal-hal yang justru baru kita ketahui dengan bertamu ke ruang berbeda.

    Sayangnya, tak semua membiarkan pintunya terbuka bagi orang lain.
Saya sih lebih senang fleksibel saja. Sama si anu boleh, si itu bisa, si dia juga saya terima, ya … walau terselip canggung diantaranya.
    Meski demikian, rasa suka atau benci dalam menggauli seseorang pasti ada. Gak cuma nyah nyoh berteman, justru malah sering ngebatinnya.
    Tapi toh ya dijalani saja. Mau dia menganggap saya orangnya bagaimana, atau bahkan diri ini tak mendapat salah satupun di matanya itu tak masalah.
    Biarlah mereka menilai saya dari kenyataan. Bukan embel-embel belas kasihan.
    Ibarat sungai, saya sekarang amat keruh, kecoklatan, menjijikkan. Hingga ikan mati tersentuh air ini. Nah, teman-teman saya yang baik hati mulai menanam pohon disekitar saya. Itu pohon besar, akarnya panjang merogoh tanah, bahkan sering tembus ke badan saya. Sakit sekali. Bayangkan, benda keras dan tajam menghujam tubuh. Tapi saya percaya, seiring berganti musim, air ini mulai jernih. Ya, berkat pohon-pohon itu. Berkat teman-teman yang menanamnya.
    Jadi, segala ucapan yang mampir di telinga itu disaring sajo. Gumpalan-gumpalan gak penting mending dibuang. Lebih baik begitu to ketimbang ngebek-ngebek i pikiran?

Leave a comment